Jumat, 04 Desember 2015

Kisah Tentang Sebuah Kesederhanaan

“Kesederhanaan adalah suatu hal tentang kesadaran diri  akan indahnya sikap rasa rendah hati, toleransi dan saling berbagi untuk menciptakan kedamaian.”


                Apakah anda pernah mengalami bagaimana rasanya berada di lingkungan yang membuat kita mengerti apa itu arti kesederhanaan? Lingkungan yang membuat hati kita terbuka akan keadaan yang tidak terpikirkan sebelumnya. Keadaan yang biasanya hanya dipandang sebelah mata oleh sebagian besar orang. Saya merasa sangat bersyukur mengalami pelajaran hidup seperti ini. Saya merasa diberikan amanat untuk lebih mengerti bagaimana kehidupan yang lebih sulit diluar zona saya.
                Awalnya saya hanya ingin mencoba bekerja. Tidak bertujuan untuk mencari uang ataupun mencari pengalaman. Hidup tanpa adanya aktivitas setelah lulus SMA membuat saya jenuh. Jadwal masuk perguruan tinggi masih 3 bulan lagi. Lalu apa yang akan saya lakukan 3 bulan kedepan ? Saya tidak mau menghabiskan waktu dirumah selama itu dengan tidak melakukan sebuah aktivitas. Saya rasa itu akan sangat membosankan.  Kemudian saya menerima ajakan teman saya, Inge untuk bekerja di Toko Perhiasan Perak milik teman orangtuanya. Saya berpikir bahwa itu pekerjaan yang mudah. Hanya melayani orang memilih barang yang pas kemudian dibayar dan selesai. Pekerjaan yang saya kira bisa dilakukan tanpa harus berpikir dan tanpa membawa tanggung jawab yang besar.
                Hari pertama saya sudah merasa tidak betah. Baik dengan suasana, cara bekerja, dan keadaan. Saya bekerja dari pukul 07.30-17.00. Dengan upah 15.000 per hari dan uang bulanan 300.000. Sekali lagi, saya bekerja bukan untuk mencari uang, jadi saya tidak bermasalah dengan bayaran yang dibilang tidak banyak. Yang membuat saya tidak betah berada di lingkungan tersebut adalah saya harus melayani pelanggan sesuai dengan keinginan mereka. Anda harus tahu, pelanggan beraneka macam jenisnya. Ada yang menghargai, tidak peduli, bahkan mencaci maki. Awalnya saya berpikir untuk keluar setelah sehari bekerja. Tetapi saya mengurungkan niat karna saya mau mencoba pekerjaan ini hingga akhir yang saya anggap sebagai sebuah tantangan. Jujur saja, saya orang yang bekerja semaunya sendiri, tidak menyukai perintah yang keras. Saya ingin merubah sikap negatif itu. Saya berpikir jika ini berhasil saya bisa memperbaiki keegoisan saya.
                Kemudian setelah beberapa waktu saya bekerja di tempat itu, saya menemukan titik kenyamanan yang saya cari. Saya bisa beradaptasi dengan teman-teman karyawan lainnya. Saya sudah bisa menanggapi dengan baik keluhan pelanggan, saya bisa berkomunikasi baik dengan atasan saya. Teman-teman yang awalnya terlihat tidak menyukai saya dan Inge. Lambat laun mereka mau terbuka dan menerima kami. Entah apa yang mereka pikirkan saat pertama kali saya masuk sebagai karyawan disana. Mungkin karena saya dan Inge nasrani, melainkan mereka beragama muslim. Atau mungkin karena tanggapan mereka bahwa saya dan Inge orang yang bisa dibilang berkecukupan sehingga mereka membuat adanya batasan antara kami dan mereka. Tapi saya tidak mau diam saja, karena itu tidak akan mengubah apapun. Saya berusaha keras untuk beradaptasi pada mereka dan alhasil mereka menerima saya.
                Mereka sudah mau berbicara pada saya tentang hal pribadi mereka. Mereka menceritakan latar belakang, tujuan, dan keadaan selama mereka bekerja di tempat ini. Banyak konflik yang terjadi pada mereka, baik dalam pekerjaan ini maupun masalah keluarga mereka. Mulai dari Dewi, yang terlalu sering kena marah Ko Surya (atasan kami) karena kecerobohannya. Dia sering mendapatkan ancaman di pecat karena sering datang terlambat. Di caci maki pelanggan karena perhitungan pembayaran yang salah. Nilai positif yang dia punya adalah dia tidak pernah sakit hati dengan perkataan orang lain. Dia sangat sederhana dari cara dia berbicara dan tingkah lakunya. Dia selalu tertawa walaupun kami tidak mengerti apa yang membuat dia tertawa. Dia aneh, tapi kami menyayangi dan memahaminya. Dia pernah berkata pada saya,”Kalo aku nikah nanti, kamu harus dateng Pi, jangan sombong ya Pi kalo udah jadi orang sukses.”
                Ada Mbak Ina, yang sudah 6 tahun bekerja di toko. Dia yang sabar mengajarkan saya bagaimana cara bekerja dengan baik di tempat itu. Mulai dari menata perhiasan yang benar, perhitungan pembelian yang teliti, cara melayani pelanggan dengan baik, dan menyemangati saya saat saya sedang down. Itu semua memang sulit bagi saya dan perlu banyak belajar. Tidak seperti yang saya pikirkan sebelumnya. Saya sudah menganggap Mbak Ina seperti kakak saya. Dia sering berkata pada saya,”Besok kamu pasti jadi orang sukses, pasti ! Beda dengan kami disini yang paling mentok hanya bisa jadi pelayan toko. Jangan lupain Mba Ina hlo ya. Sering-sering mampir ke toko. Mbak Ina pasti kangen Silvy.”
                Ada mbak Yanti dan mbak Tia, mereka orang yang awalnya paling susah menerima saya dengan Inge. Alhasil setelah beberapa waktu kami sudah bisa saling menerima satu sama lain. Kami membicarakan banyak hal, mulai dari perbedaan agama kami. Apa itu nasrani ? Apa itu Katolik dan Apa itu Kristen ? Apa itu muslim ? dan sebagainya. Banyak hal yang membuat kami bertukar pikiran dan saling menerima.
                Ada mbak Via yang selalu ngoceh tentang fashion. Dia ingin beli tas, beli baju, dan sebagainya. Dia sering bertanya pada saya apa model yang pas untuknya. Dia juga sering mengajak saya belanja selesai bekerja. Mbak Via ingin belajar banyak hal dari dan tentang saya, padahal saya merasa saya bukan contoh yang baik untuk orang lain. Tetapi mbak Via selalu berkata bahwa saya adalah inspirasi untuk dia.
                Ada mbak Hanik yang pernah berkata pada saya,”Kamu nggak masuk sehari aja toko sepi. Nggak ada yang bikin ketawa kayak biasanya. Aku sendirian jaga di bagian depan hlo, Sil. Besok udah masuk kerja kan ?”.
Ada karyawan baru bernama Yanti. Jadi didalam toko ada dua Yanti. :D Dia sangat pendiam, dia malu dan takut untuk berinteraksi pada karyawan lainnya. Saya mendekatinya. Membiarkan dia bercerita tentang apapun yang ingin dia ceritakan. Termasuk ketidaknyamanan bekerja disini. Dia ingin kuliah tapi belum ada biaya. Alhasil dia mencoba bekerja di toko ini. Setelah beberapa waktu, dia sudah bisa beinteraksi dengan yang lainnya. Yanti pernah berkata pada saya,”Kalau kamu nggak kerja disini, saya nggak tau apakah saya bisa beradaptasi disini atau tidak. Apakah saya bisa diterima disini atau tidak. Jadi bersyukur banget kamu mau bantu saya beradaptasi dan mengenalkan saya pada mereka.”
                Ada mas Tri dan Mas Yanto yang sering membuat lelucon yang tidak lucu :D Mereka juga orang sederhana, yang mencari uang dengan bekerja apapun asalkan halal. Mereka pernah berkata,”Kamu dan Inge itu buat perubahan baru disini. Nggak hanya aku sama Tri yang ngrasain. Mereka, Dewi, Mba Ina, Tia, Yanti, Via, Hanik, Yanti baru, juga senang kalian ada disini. Kalau kamu sama Inge nggak kerja disini, saya sudah resign dari bulan Juni lalu. Sudah nggak betah sebenernya. Tapi aku pulang ke Lampung pakai apa kalau nggak kerja. Aku masih butuh uang. Jadi terimakasih banyak buat kamu sama Inge.”
                Suatu ketika Dewi berkata bahwa ia ingin Fried Chicken yang ada dipasar. Saya menyuruhnya untuk beli karena dia tidak makan sejak kemarin malam. Dia berkata pada saya dia tidak punya uang. Uang yang dia bawa hanya 3.000 sisa uang harian kemarin. Itupun untuk naik angkot sepulang kerja. dia berkata bahwa dia tidak pernah makan makanan seenak itu. Biasanya hanya masak sayur seadanya. Saya tidak tega. Saya memberikan uang 10.000 kepadanya dan menyuruhnya membeli untuk dia dan adiknya dirumah. Dia terlihat sangat senang. Dengan uang 10.000 saya bisa membahagiakan orang lain yang membutuhkan. Anda tahu apa yang saya rasakan ? Saya merasa luar biasa dengan kejadian tersebut. Ada banyak orang yang sulit mencari makanan diluar sana. Sedangkan saya hanya bisa mengeluh setiap hari, tidak bersyukur dengan apa yang ada di hidup saya. Saya menyesal dengan kebodohan saya.
Kehidupan saya berbeda sejak saat itu. Saya hidup lebih sederhana, tidak meminta sesuatu yang saya inginkan dan tidak saya butuhkan. Saya lebih hemat dalam pengeluaran dan saya lebih bisa menerima pendapat orang lain tentang diri saya. Saya banyak belajar dengan pengalaman itu.
                Yang awalnya saya merasa saya tidak berguna di tempat itu, ternyata saya memegang peran penting untuk mereka. Saya merasa tidak pantas menjadi apa yang mereka butuhkan. Tetapi mereka percaya kepada saya. Dan tentunya saya tidak akan menolak, suatu kebanggaan dan keharuan bagi saya karena bisa menjadi motivasi untuk mereka.
Saat saya berkata untuk tidak bekerja lagi karena waktu masuk perguruan tinggi sudah semakin dekat, mereka sedih. Bahkan mbak Ina sampai menangis mendengar perkataan saya. Dia memberikan saya nasehat yang luar biasa. Saya berterimakasih pada mereka karena memberikan pencerahan pada hidup saya.

                Dari pengalaman ini saya belajar banyak. Tanggung jawab, kesabaran, realitas, kebersamaan, kepercayaan, dan tentunya kesederhanaan. Mereka hidup sederhana tetapi mereka sangat bahagia dengan jalan kehidupan mereka masing-masing. Selalu bersyukur itu adalah kunci utama. Jangan menilai seseorang dari penampilan awal saja. Biarkanlaah pikiran positif yang ada di otak Anda. Karena pikiran positif tersebut yang membuat perdaamaian itu menjadi ada. Coba menerima perbedaan orang lain dengan hati terbuka dan tangan menerima. Tuhan Memberkati.

Indahnya Memahami Perbedaan Agama



“Perbedaan agama tidak menjadikan satu celah untuk mengerti
berbagai cara mendapatkan perdamaian”





                  
                Kita hidup di dalam negara yang penuh keberagaman, baik dari suku, budaya dan agama. Untuk hidup bersama dalam suatu area Indonesia, tentu dibutuhkan sikap toleransi terhadap perbedaan tersebut. Ada 6 agama yang kita tahu di Indonesia antara lain: Kristen, Katholik, Islam, Hindu, Buddha dan Kong Hu Chu. Semua agama tersebut memiliki tujuan yang sama yaitu mencari perdamaian. Tidak ada agama yang memiliki tujuan buruk, semua memiliki tujuan yang membuat kita tidak celaka dalam menjalani hidup.
Saya memiliki sebuah cerita yang membuat saya mengerti indahnya keberagaman yang menyatu. Saya melanjutkan pendidikan S1 Public Relation di UKSW. UKSW terkenal dengan keberagaman budaya, suku, dan agama. Sehingga UKSW disebut sebagai Indonesia Mini. Disini saya mendapatkan banyak teman yang berasal dari latar belakang dan agama yang berbeda. Saya akan menceritakan dua teman saya yang memiliki keyakinan berbeda. Saya beragama Katolik, Meilinda beragama Buddha, dan Novi beragama Islam.
Suatu ketika Meilinda mengajak saya dan Novi untuk mengikuti perlombaan Idefest 2015.  Idefest adalah suatu kompetisi yang di selenggarakan oleh komunitas Buddha Indonesia. Saya mengiyakannya karena saya juga ingin mencari pengalaman baru dari orang lain. Kegiatan itu diselenggarakan di akhir tahun 2015 dan awal tahun 2016. Dari 11 anggota yang ikut, saya dan Novi lah yang bukan beragama Buddha. Kami boleh mengikuti acara ini karena syarat dalam suatu kelompok peserta, 70% beragama Buddha dan 30% beragama non-Buddha. Setiap minggu kami berlatih selama 2 kali. Setiap jam 3 sore kami berlatih tanpa pelatih. Kemudian pukul 7 malam kami berlatih dengan pelatih dance.
Pukul 6 sore adalah waktunya umat Buddha beribadah. Sanggar yang kami tempati untuk berlatih dance adalah tempat sekaligus mereka beribadah. Saya bertanya pada mereka apa nama ibadah yang mereka lakukan setiap jam 6 petang, dan mereka menjawab Gongyo. Saya dan Novi selalu melihat mereka beribadah setelah latihan. Awal saya melihat mereka beribadah saya merasa asing karena memang pertama kali melihat proses ibadah umat Buddha. Tapi ini hal yang indah yang pernah ada di hidup saya. Menyadari berbagai macam agama dan bagaimana proses ibadah di agama tersebut.
Waktu adzan maghrib tiba. Novi yang beragama Islam mengajak saya untuk menemaninya shalat di masjid dekat sanggar kami berlatih. Saya dengan senang hati menemaninya walaupun saya hanya menunggu didepan masjid. Ketika saya menemani Novi beribadah, saya melihat Novi dari luar. Saya mulai menyadari bahwa keyakinan untuk memperoleh kedamaian dapat dilalui berbagai cara, yaitu cara ibadah yang berbeda-beda.
Suatu ketika Kak Ninit, pelatih dance kami tidak bisa datang latihan karena ada keperluan mendadak. Setelah Meilinda dan teman-temannya beribadah Gongyo kami bertiga beristirahat sejenak dan bercerita satu sama lain. Saya bertanya pada Meilinda,”Itu buku apa?”. Meilinda menjawab bahwa yang dipegangnya adalah Buku Kyobon (buku sembahyang agama Buddha sekte niciren syosyu). Dia memberitahku juga alat sembahyang yang digunakannya adalah Jutsu. “Kalau di Katolik, alat untuk doa kayak gini apa namanya, Sil?”, dia bertanya pada saya dengan menunjukan Jutsu di tangannya. Ditangannya ada Jutsu yang bentuknya menyerupai tasbih dan rosario. “Rosario, Mey. Bukunya, Alkitab Deuterokanonika”. Novi berkata, “Oh jadi kayak Tasbih sama Al-Quran gitu ya kalo di agama ku ?”. Saya dan Mey mengangguk. Saya berkata kepada mereka berdua,”Kita memiliki keyakinan yang berbeda, tetapi tujuan kita sama.”. Novi membalas, “Memperoleh kedamaian”
Kami mempunyai toleransi yang kuat. Saat saya tidak bisa datang latihan untuk ibadah di gereja, mereka memahaminya. Saat adzan maghrib tiba, mereka juga mengingatkan Novi untuk shalat. Saya dan Novi juga menghormati mereka umat Buddha yang sedang beribadah. Kita harus menyadari perbedaan yang ada di sekeliling kita. Sangat indah jika kita menyatukan perbedaan dan memahami satu sama lain di sekitar kita. Tuhan Memberkati.

Perbedaan yang Berujung Perdamaian





“Salah satu hal yang membuat hati kita merasakan sebuah perdamaian adalah ketika kita ikhlas dalam menerima perbedaan didunia.”


Dalam dunia ini semua orang menginginkan perdamaian. Walaupun tak bisa terelakkan bahwa banyak sekali konflik yang terjadi dalam hidup kita meski kita tidak mau itu terjadi. Saya memiliki salah satu teman yang menginspirasi saya. Sebut saja namanya Novita. Dia lahir dan besar di Papua, menetap di Salatiga untuk melanjutkan pendidikan sejak SMA. Saya bersekolah yang mayoritas murid berasal dari luar Salatiga bahkan luar pulau. Jadi Novita bukan satu-satunya murid yang berasal dari luar Jawa. Dia adalah orang asli Papua pertama yang paling ceria yang pernah saya temui. Dia selalu tertawa, berbagi, dan menerima pendapat orang lain. Dalam beberapa waktu dia bisa membaur dengan saya dan teman-teman. Dia selalu membuat kami tertawa dan mengerti tentang kesederhanaan.
Suatu ketika Novita bertanya pada saya tentang arti satu kata dalam bahasa jawa. Dan 1 kata itu memang memiliki arti yang kasar. Lalu saya bertanya “Darimana kamu dengar kata itu?”. Dia menjawab dengan logat papua yang sangat kental, “Saat saya membeli minum,  ada segerombolan laki-laki dikantin berkata seperti itu pada saya.”. Lalu saya menjelaskan arti kata itu kepadanya dan dia terkejut. Saya mengelus pundaknya dan menyuruhnya tidak mendengarkan perkataan mereka.  Dia tersenyum dan berkata, “Tidak apa apa, sepertinya saya harus lebih keras berusaha beradaptasi disini. Kalau saya salah berbicara tolong ditegur. Supaya saya tau apa salah saya.” Dari raut wajahnya saya mengerti dia sangat kecewa. 




Suatu ketika saat saya melihat orang yang mengatai Novita dengan kata-kata yang tidak dia mengerti, saya membentak orang itu. Tapi Novita dengan tenang menyuruh saya untuk lebih baik diam dan membiarkan mereka selalu mengejek dia. Saat saya tanya,”Kenapa saya harus diam? Mereka semua tidak akan berhenti mencaci maki jika kamu hanya bisa diam”. Novita tersenyum pasrah. Ia berkata pada segerombolan laki-laki itu, “Saya berasal dari luar Jawa,  saya dari Papua. Tapi tujuan saya datang ke Salatiga untuk belajar. Maafkan saya jika saya membuat kalian tidak nyaman”. Tindakan Novita membuat saya terkejut. Segrombolan laki-laki itu terdiam dan meninggalkan Novita.
Saya terkejut karna dia tidak membela dirinya. Ia lebih memilih minta maaf karna dia merasa dia yang bersalah. Dia memandang saya dan berkata, “Kamu harus belajar ikhlas. Jangan membalas makian dengan makian. Itu akan lebih mempersulit. Saya sakit hati tapi saya masih mau berdamai. Karena damai itu membuat hidup saya lebih tenang”. Pikiran saya terbuka tentang arti damai. Dan dari dia saya belajar kata iklhas dalam menjalani hidup.
Novita memang berbeda. Asal usul yang berbeda, latar belakang yang berbeda, ras yang berbeda, kebudayaan yang berbeda. Tapi dia berasal dari negara yang sama. Dia mau menghargai pendapat orang lain. Dia menerima berbagai macam kritikkan dan tanggapan dari orang-orang yang memperhatikannya. Dia selalu ramah kepada semua orang. Tidak peduli apa kata buruk yang orang lain lontarkan kepadanya. Ia hanya menganggap semua itu sebuah kritikkan dan masukan yang membuat dia bisa lebih beradaptasi di lingkungan barunya.
Jangan pernah meremehkan identitas orang lain. Semua orang itu sama, mempunyai kekurangan dan kelebihan. Jadikan kekurangan itu sebagai sebuah perbedaan yang berarti. Perbedaan yang bisa membuat kita mengerti satu sama lain tentang indahnya Indonesia. Negara yang memiliki banyak suku dan agama.  Keberagaman yang membuat keindahan tersendiri bagi nama Indonesia.